Beberapa waktu, lalu beberapa media cetak yang masih menyuarakan perjuangan Islam, mengulas tentang pencekalan intelektual liberal Mesir: Nasr Hamid Abu Zayd yang diagendakan sebagai narasumber pada perhelatan akbar Pertemuan Tahunan Masalah Keislaman ( Annual Conference On Islamic Studies ) yang disingkat ACIS ke 7 diselenggarakan di Pekanbaru, Riau serta rencana menjadi pembicara dalam forum diskusi keislaman di Malang.
Departemen Agama RI sebagai penyelenggara telah melakukan kekhilafan atau bahkan mungkin kesengajaan dengan mengundang tokoh kontroversi tersebut mengingat forum ini dijadikan Barometer Studi Keislaman Di Indonesia. Nasr Hamid Abu Zayd pemikir liberal yang difatwakan murtad oleh pengadilan Mesir dan diancam bunuh oleh organisasi islam militan: Al Jihad. Akar persoalannya lantaran karya-karya Nasr Hamid ditengarai menghujat islam, meragukan otentisitas Al Quran dan mengindikasikan kemurtadan. Virus Nasr Hamid yang telah menyebar merusak pemikiran umat Islam. Namun anehnya, di Indonesia pengusung faham sekuler ini digandrungi dan dipuja tanpa kritik oleh cendekiawan muslim di lingkungan UIN dan kaum liberal Indonesia. Pemujaan terhadap Nasr Hamid direfleksikan dalam sistem di perguruan tinggi Islam secara sistematis, bahkan gagasannya tentang Hermeneutika telah dibakukan menjadi salah satu mata kuliah wajib dalam kurikulum di lingkungan pendidikan tinggi Islam tersebut.
Sejatinya pemikiran Nasr Hamid mempunyai tendensi me-dekonstruksi dan de-sakralisasi Al Quran dengan menyatakan bahwa kitab suci umat islam tersebut adalah produk budaya ( muntaj tsaqafi ). Nasr Hamid mengusung bangunan epistemologi keilmuan Islam dengan selera modern yang dikemas eksklusif dalam balutan kajian ilmiah dengan mengubah berbagai hukum dalam Islam. Hujatan Nasr Hamid terhadap Imam Syafi’i serta ulama salaf lainnya memicu kontroversi. Ironisnya langkah Nasr Hamid Abu Zayd tetap diimani dan diikuti oleh banyak orang di Indonesia.
Dilahirkan dengan nama Nasr Hamid Rizk Abu Zayd di Quhafa, dekat kota Thantha, Mesir pada 10 Juli 1943, di lingkungan keluarga yang sangat relijius. Pada usia 8 th Nasr kecil telah hafal Al Quran. Tiga tahun berselang ketika usianya menginjak 11 tahun bergabung dengan gerakan Al Ikhwan Al Muslimun, dia pernah dijebloskan dalam penjara selama 1 hari dan akhirnya dibebaskan lantaran masih di bawah umur. Pada tahun 1960 dia menyelesaikan sekolah teknik di Thantha, sampai pada tahun 1972 Nasr Hamid bekerja sebagai teknisi elektronik pada organisasi komunikasi nasional di Kairo. Hubungan intelektualnya dengan Amin Al Khuli ( tokoh pertama yang secara sadar menggunakan pendekatan kritik historis dalam studi Al Qur an ) terjalin erat yakni di tahun 1964 ketika tulisan Nasr Hamid dipublikasikan dalam jurnal Al Adab. Pada tahun 1968 studi pada jurusan bahasa dan satra arab di fakultas Sastra Universitas Kairo. Empat tahun setelah itu meraih gelar BA dalam bidang studi Islam pada jurusan yang sama dengan predikat highest honours. Karier keilmuannya dimulai saat terpilih sebagai asisten dosen pada fakultas satra. Pada tahun 1975 mendapat beasiswa dari Ford Foundation Fellowship, badan yang paling getol mendanai kegiatan Yahudi di seluruh dunia, pada Universitas Amerika di Kairo. Tahun 1977 meraih gelar MA dalam bidang bahasa arab dan studi Islam dengan predikat cum laude dan seketika itu juga diangkat menjadi dosen. Setahun berlalu terpilih menjadi Fellow pada Centre For Midle East Studies Universitas Pensylvania Philadelphia Amerika Serikat. Pada 1981 meraih gelar PhD dalam bidang arab dan studi islam. Penghargaan Abd Al Azis Al Ahwani Prize for Humanities diperolehnya lantaran aktivitasnya pada bidang humanitas dan budaya arab pada tahun 1982, sekaligus dipromosikan sebagai asisten profesor.
Periode 1985-1989 kariernya makin berkilau ketika terpilih sebagai profesor tamu pada Osaka University of Foreign Studies Jepang. Sekembalinya dari negeri sakura, Nasr Hamid menerbitkan buku paling kontroversial: Naqd Al Khitab Al Dini ( Kritik Atas Wacana Keagamaan ) yang berisi penilaian kritis atas wacana religio-politik Islam dari Muhammad Abduh sampai Hasan Hanafi.
Pada usia 49 tahun menikah dengan tambatan hatinya: Dr Ibtihal Yunis. Pada 9 Mei 1992 Nasr Hamid mengajukan promosi untuk mendapatkan gelar profesor pada Universitas Kairo, pada saat itulah dimulainya ’Kasus Abu Zayd’ di persidangan yang berakhir dengan vonis kafir. Setahun kemudian asosiasi pengacara yang berbasis di Kairo membawa ke pengadilan Giza, menuntut Nasr Hamid diceraikan dari istrinya dengan alasan seorang muslimah tidak diperkenankan menikah dengan orang kafir. Dalam pertengahan kasusnya Nasr Hamid mendapat penghargaan The Republican Order Of Merit From The Service To Arab Culture dari Presiden Tunisia. Dia memperoleh keprofesoran penuh pada bulan Juni 1995. Sebulan kemudian Nasr Hamid dan istrinya meninggalkan Mesir hijrah ke Leiden Nederland dan diangkat menjadi profesor tamu dalam bidang studi Islam di Universitas Leiden. Di kampus tersebut mengingatkan kita pada Snouck Horgronje, tokoh spionase intelektual yang ber Ihzarul Islam ( berpura-pura Islam ). Snouck pernah menuntut ilmu di Universitas tersebut yang sarat dengan komunitas Yahudi.
Di negeri kincir angin Nasr Hamid dihormati sebagai intelektual besar di bidang studi Al Quran. Tahun 1998 meraih penghargaan dari Jordanian Writes Association Award For Democracy & Freedom. Tanggal 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai guru besar tetap di Universitas Leiden. Saat ini Nasr Hamid menduduki Ibn Rusyd Chair Of Humanistic & Islam di University For Humanistic di Utreecht, Belanda. Dan menjadi dosen pembimbing mahasiswa S2 dan S3 di Universitas Leiden. Nasr Hamid kini terlibat aktif dalam proyek riset tentang Hermeunetika Yahudi dan Islam sebagai kritik cultural di Institute Of Advance Studies Of Berlin.
Nasr Hamid Abu Zayd menggunakan metode analisis teks bahasa sastra ketika mengkaji Al Quran. Gagasannya yang berkaitan dengan Hermeunetika Al Quran merupakan sebuah reaksi dan kritik terhadap konsep dan pemahaman konservatif tentang teks Al Quran dan interpretasinya. Dia merepresentasikan bahwa pembacaan ideologis dan subyektif atas teks keagamaan justru mengindikasikan ideology itu sendiri. Terdapat dua ideology yang mendasari karya-karyanya yaitu: Sekularisme dan Akademisme.
Nasr Hamid membuat definisi dikotomis antara agama dan pemikiran keagamaan, antara teks dan penafsiran. Agama menurutnya merupakan kumpulan teks-teks suci yang tetap secara historis. Dengan berargumen bahwa Al Quran sebatas fenomena sejarah menunjukan ketidakkonsistenan pemikirannya. Interpretasi historis ala Nasr Hamid lebih mengedepankan supremasi data empiris dengan membentuk kekuasaan mutlak bagi pembaca dalam memahami teks dan mengklasifikasikan hal gaib dalam kategori khurafat. Sejatinya pemikirannya tentang Al Quran adalah produk budaya dan teks manusiawi adalah adopsi dari metode kesadaran historis Wilhelm Dilthey.
Menyamakan kedudukan teks-teks suci agama dalam Hermeunetika merupakan pemahaman yang mendasarkan pada relativitas sejarah serta memisahkan makna normatif dan historis. Dan Nasr Hamid memposisikan Nabi Muhammad SAW sebagai pengarang Al Quran, dengan tujuan menjebol konsep dasar tentang keotentikan Al Quran yang selama ini diyakini kaum muslim.
Termaktub dalam QS An Najm: 3
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Serta QS Al Haaqqah: 44-46
Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.
Akhirnya, Nasr Hamid Abu Zayd tak hanya memformulasikan pergeseran dalam studi Al Quran dari otoritas ulama kepada ilmuwan liberal sekuler namun menempatkan teks Al Quran sebagai studi dan kritik ilmiah, suatu pendekatan yang bisa dikategorikan sebagai penghujatan. Ijtihad-ijtihad Nasr Hamid tentang homoseksualitas, paham feminisme, wacana jin dan sihir yang dianggap mitos sangat problematis.
Pemikiran Nasr Hamid ibarat virus yang mewabah dan disebarluaskan secara aktif oleh para pemujanya. Gagasannya yang nyleneh membuahkan kontroversi dalam Islam dan malah dipandang sebagai pahlawan yang kritis dan humanis oleh media Barat.
Ini bukan persoalan sepele yang sengaja di blow up namun merupakan agenda besar yang bertujuan meluluh lantakkan aqidah dan pemikiran Islam.
Gazwul fikri telah dimulai, perang pemikiran tengah kita hadapi. Wahai Umat Islam !!!!
Waspadalah! Jagalah ilmu-iman dan amal kita dari invasi virus-virus pemikiran kaum orientalis Yahudi dan kaum sekuler liberal. Mereka tak akan tinggal diam melihat tegaknya Dienul Islam.
Pemikiran Nasr Hamid ibarat virus yang mewabah dan disebarluaskan secara aktif oleh para pemujanya. Gagasannya yang nyleneh membuahkan kontroversi dalam Islam dan malah dipandang sebagai pahlawan yang kritis dan humanis oleh media Barat.
Ini bukan persoalan sepele yang sengaja di blow up namun merupakan agenda besar yang bertujuan meluluh lantakkan aqidah dan pemikiran Islam.
Gazwul fikri telah dimulai, perang pemikiran tengah kita hadapi. Wahai Umat Islam !!!!
Waspadalah! Jagalah ilmu-iman dan amal kita dari invasi virus-virus pemikiran kaum orientalis Yahudi dan kaum sekuler liberal. Mereka tak akan tinggal diam melihat tegaknya Dienul Islam.
sebenarnya masalah ini telah banyak disinggung oleh berbagai pihak yang berseberangan dengan paham ini, namun mengingat bahaya ini masih terus ada rasanya tidak salah kalau kita bincangkan di blog kita ini.
Liberalisme awal sebenarnya telah dimulai pada agama kristen yang berujung pada terbentuknya paham sekulerisme, paham ini ditimbulkan karena adanya pertentangan antara para negarawan (raja-raja dan bangsawan eropa)dan agamawan (diwakili oleh paus)diinggris konflik tajam antara raja dengan paus melahirkan aliran baru dalam sekte kristen yg dikenal dengan gereja anglikan.
Di jerman penentangan terhadap kuasa paus yang menerbitkan surat tanda pengampunan dosa memunculkan sekte protestan yang merupakan komunitas kristen terbesar didunia, pertentangan antara dua kelompok ini sangat sebelum tercapainya konsoliasi, namun saat ini konflik tersebut masih berlangsung di irlandia utara antara katholik berhadapan dengan anglikan inggris, ide awal pemikiran liberal dapat dikatakan berawal dari kritik kitab suci yang dilakukan oleh pakar-pakar theology untuk memisahkan antara perkataan asli yesus didalam bible yang ternyata hasilnya sangat mengejutkan dunia kekristenan metode yang diistilahkan dengan hermeunetika yang berasal dari nama tokoh dalam mytologi yunani bernama hermes seorang penerjemah bahasa dewa agar dapat dimengerti oleh manusia, hermeneutik memiliki metode- metode yang memang sangat tepat untuk menafsirkan bible namun sangat keliru jika digunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an sebab peristiwa yg mendasarinya tidak sama, Al-Qur'an ditulis ketika rasulullah masih hidup sementara bible ditulis setelah beberapa tahun sejak kematian nabi isa, dan penulis biblepun bukan dari sahabat isa (hawariyyun).
para pengusung liberalis di Indonesia menganjurkan agar kita meniru apa yang telah dilakukan barat terhadap agamanya, mereka ini mengamini dan menjadi pembela setia setiap pemikiran yang berasal dari barat, bagi mereka barat sangat objektive,ilmiah dan metodologi mereka sangat baik untuk ditiru, pendek kata bagi kelompok ini barat adalah diatas segala-galanya dan warisan dari Islam dianggap sudah ketinggalan zaman, mereka inilah perusak dan penghancur Islam dari dalam, orang-orang ini senang dengan segala publisitas dan fasilitas yang didapatkan walaupun dengan melacurkan diri.dapat dikatakan mereka ini ibarat anjing yang menuruti perintah tuannya, peristiwa yang telah berlangsung dinegeri kita telah memperlihatkan jati diri mereka, mereka ikut memperburuk citra Islam dengan pendapat-pendapatnya yang banyak dikutip oleh pers yang kebetulan dikuasai orang-orang sekuler, tidak mengherankan kalau mereka membela pengikut ahmadiyah, menyetujui pornografi dan hal-hal lainnya, jika mereka melihat Islam atau kelompok Islam menentang suatu ide yang merusak maka dengan serta merta mereka akan menjadi lawan bagi kelompok tersebut.cukup banyak tulisan yang mengupas keberadaan dan bahaya kelompok ini, karenanya saya menganjurkan teman-teman untuk membaca buku-buku tersebut, dan kepada teman-teman yang lain mungkin bisa membagi ilmunya dengan membuat tulisan ringkas tentang hermeunitik untuk lebih dapat memahami liberalisme bagi kita yang mungkin masih sedikit mendapat informasi
Hermeneutika: Metode Interpretasi Teks Manusia, Bukan Teks Tuhan
Maraknya penafsiran Al-Quran secara liberal yang terjadi seperti sekarang ini, mengundang dan menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah penafsiran yang diajukan sekarang ini dapat diterima sebagai sebuah ilmu baru, atau bahkan menjadi ilmu yang menyesatkan umat muslimin, dalam hal menafsirkan Al-Quran. banyak Penafsiran Al Quran baik yang secara tekstual maupun kontekstual saling bertentangkan. Yakni adanya perbedaan dalam Inteprentasi Al Quran, yang dilakukan oleh kaum Salafi yang masih menggunakan metode Tafsir, dengan kaum Liberal yang berusaha menggunakan metode hermeneutika didalam kaidah Interpretasi. Hal ini terjadi tak lepas dari beberapa cendikiawan muslim yang mencoba memasukkan nilai-nilai ajaran barat atau metode agama lain khususnya Kristen, seperti metode interpretasi hermeunetika kedalam kaidah ilmu islam.
Salah satu metode yang ditawarkan oleh kaum liberal adalah Interpretasi Al-Quran menggunakna hermeunetika, mereka menganggap bahwa Al-Quran harus ditafsirkan secara kontekstual dan tekstual, tidak hanya secara tekstual saja. Sehingga kaum muslimin tidak terikat oleh teks, melainkan dapat keluar dari teks tersebut.
Salah satu metode yang ditawarkan oleh kaum liberal adalah Interpretasi Al-Quran menggunakna hermeunetika, mereka menganggap bahwa Al-Quran harus ditafsirkan secara kontekstual dan tekstual, tidak hanya secara tekstual saja. Sehingga kaum muslimin tidak terikat oleh teks, melainkan dapat keluar dari teks tersebut.
Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah atau bahasa, kata hermeneutika artinya adalah “tafsir”. Sedangkan secara epistimologis, istilah hermeunetika berasal dari bahasa yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi yunani kuno yang dikenal dengan nama hermes (Mercurius). Dalam mitologi yunani, hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dewa kepada manusia. Dari tradisi yunani inilah, hermeunetika kemudian berkembang sebagai metodologi penafsiran Bible, yang kemudian hari dikembangkan oleh para Teolog, Cendikiawan dan Filsuf barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosisal dan humaniora. Sebenarnya tujuan dari hermeneutika ini adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai yang terkandung didalam Bible.
Hermeneutika bukan sekedar tafsir,. melainkan satu metode tafsir tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation) yang sangat berbeda dengan Al Quran. Di kalangan Kristen, saat ini, penggunaaan hermeunetika dalam interpretasi Bible sudah sangat lazim digunakan, meskipun metode tersebut menimbulkan banyak perdebatan.
Hermeunetika sebagai teori interpertasi sangat mengedepankan akal historis, dengan pertimbangan realitas sosial sebagai landasan dalam penafsirannya. Sehingga banyak dari penafsiran ِِِAl-Quran bisa dikatakan melenceng dari kaidah tafsir yang ada.
Awal Mula Munculnya Hermeneutika
Munculnya metode interpretasi teks yaitu hermeneutika tak lepas dari tiga pokok masalah yaitu:
1. Ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak dari awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks paling awal.
2. Tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang boleh diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’
3. Tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang. Ketiga hal ini sama sekali tidak ditemukan didalam sejarah islam.
Bahaya Interpretasi Al-Quran secara Hermeunetika
Hermeneutika sebagai ilmu Interpretasi terhadap teks sangat berbahaya bila diterapkan didalam metode penafsiran Al-Quran hal ini disebabkan karena Al-Quran bukanlah tulisan atau karya manusia melainkan karya Tuhan. Padahal dalam penggunaan metode hermeneutika seseorang pembaca atau seorang yang akan menafsirkan sebuah teks, mereka harus mampu berempati secara psikologis kedalam isi teks dan pengarangnya, pembaca harus mampu mengalami kembali pengalaman-pengalaman yang pernah dialami pengarang yang termuat didalam teks tersebut. Alasan inilah yang menguatkan bahwa hermeneutika tidak dapat digunakan dalam metode interpretasi Al-Quran, karena sangat tidak mungkin seorang pembaca atau seorang yang akan menafsirakan Al Quran dapat mengetahui psikologi Tuhan.
Lalu bagaimana dengan Bible dan kitab lain? Kenapa kitab-kitab tersebut dapat ditafsirkan dengan metode hermeneutika? Alasannya adalah bahwa Bible dan kitab-kitab lain adalah buatan atau karangan manusia kecuali Al-Quran. Misalkan Bible, walaupun diklaim oleh umat Kristen bahwa kitab mereka adalah karangan atau ciptaan Tuhan, namun mereka tidak dapat mengingkari bahwa Bible ditulis oleh Matius, Marcus, Lucas, Yohanes.
Yang lebih berbahaya lagi, adalah bahwa mereka, kaum liberal mencoba menafsirkan ayat Al-Quran secara keseluruhan, maksudnya semua ayat Al-Quran dapat ditafsirkan, yakni ayat-ayat Qath’I baik ayat Mutasabihat maupun ayat Muhkamat, yang sifat ayat-ayat tersebut ketentuannya sudah tetap. Sehingga yang terjadi adalah hukum bersifat relative, yakni kenbenaran dapat berubah menurut ruang dan waktu atau menurut zaman. Bila ini yang terjadi, seseorang dapat merubah ketentuan syariat yang telah ditetapkan semenjak zaman Rasulullah SAW.
Hermeneutika sebagai metode interpretasi teks, tidak dapat digunakan didalam Al-Quran karena kaidah yang terkandung didalamnya sangat berbeda dengan metode tafsir yang dipakai ulama-ulama Salafi sekarang. Hermeneutika hanya dapat digunakan didalam ilmu sosial yang menyangkut kehidupan manusia bukan kehidupan Tuhan
wallaha'lam